![]() |
mental berbangsa |
Kontras rasanya bila sebuah bangsa yang tidak diragukan lagi
kekayaan alamnya (SDA) yang cukup sebagai modal menjadi begara maju dan makmur.
Meskipun kemerdekaan sudah diraih oleh bangsa ini, tetapi penjajahan masih
begitu kentara apabila kita saksikan realitas yang dialami rakyatnya,
seolah-olah menjadi warisan turun-temurun hingga saat ini.
Ini bisa dilihat dari kenyataannya—disadari atau tidak,
seperti sudah menjadi keyakian sebagai bangsa yang terjajah sekian
lamanya—sehingga berdampak dari mentalitas bangsa dan rakyatnya yang sebagai bangsa rendahan.
Warisan negatif dari penjajah meliputi seolah sebagai sebuah
hal yang lumrah, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kekayaan alam Indoneia
melimpah ruah. Luas wilayahnya yang mencapai hampir 2 juta km dari Sabang
sampai Merauke itu sebagian besar tanahnya subur dan cocok untuk semua tanaman
pangan. Jelas tidak bisa dijadikan andalan untuk memunjukan sebagai sebuah
bangsa hebat. Menurut Heppy Trenggono penulis Menjadi Bangsa Pintar, ini adalah persoalan mentalitas.
Mentalitaslah sebagai kunci yang membedakan antara
bangsa-bangsa yang mampu meraih kejayaannya dan bangsa-bangsa yang tetap
bertahan dalam keterpurukan, dalam hal ini adalah Indonesia.
Sebagai sebuah bangsa yang besar hal yang menjadi modal yang
akan menjadi citra sebagai sebuah bangsa yang hebat adalah dengan upaya
membangun mentalitas bangsa Indonesia, dengan memupuk mentalitas pemenang,
bangsa yang berbudi luhur, bangsa yang mampu bersaing, bangsa yang produktif.
Belajar dari Bangsa-Bangsa Bermental
Kehebatan sebuah bangsa sama sekali tidak ditentukan oleh
seberapa berlimpah sumber daya alam yang dimiliki. Tidak juga ditentukan oleh
seberapa luas wilayah yang dimiliki, tapi ditentukan oleh sebarapa kuatnya
mentalitas bangsanya tersebut—apakah bangsa itu memiliki mentalitas pemenang
atau pecundang, mentalitas kaya ataukah mentalitas miskin, memiliki mentalitas
membangun atau mentalitas merusak, apakah memiliki mentalitas sebagai pekerja
keras atau pemalas.
Mari kita sekilah melihat berberapa negara yang berhasil
bangkit setelah negara tersebut luluh-lantah oleh bangsanya sendiri—yang
terjadi karena perang saudara—atau serangan dari bangsa lain—terlibat dalam
perang antar atau perang dunia.
Seperti Jepang, ditahun 1945 Jepang mengalami kehancuran
hancuran luar bisa, segala sendir kehidupan lumpuh, setelah dua kota besarnya
Hiroshima dan Nagasaki dihujani bom atum oleh tentara sekutu yang dimotori oleh
Amerika Serikat setelah sebalum Jepang menyerang pangkalan militer angkatan udara
Amerika dilaut pasifik (Kepulauan Hawai).
Banyak pihak meyakini bahwa peristiwa itu sebagai akhir
kejayaan Jepang. Tetapi semua itu terbantahkan tatkala Jepang berhasil bangkit
dengan watu yang relative cepat—sebagai upaya untuk membangun sebuah bangsa
yang telah hancur, kemabali ketitik nol—. Dan kini Jepang bangkit dari
keterpurukan dan berubah menjadi Negara kuat dengan kemajuan industri melebihi
kekuatan militernya pada perang dunia kedua.
Senasib dengan Jepang, Jerman kalah di Perang Dunia II, dan
mengalami keterpurukan yang membuat akhirnya membuat Jerman terbagi menjadi dua
bagian, Jerman Barat dan Jerman Timur, dalam Perjanjian Postdam.
Belum lagi negara tersebut terlilit hutang yang cukup besar
kepada negara-negara yang menang dalam perang tersebut. Tetapi, sekarang kita
bisa lihat Jerman, sebagai sebuah negara Eropa yang berada digada terdepan,
baik teknologi, ekonomi dan dalam bidang pengetahuan.
Tidak kalah hebatnya dari sebuah negara kecil di Eropa yaitu
Swiss—negeri yang satu ini dikenal sebagai negara penghasil coklat terbaik di
dunia—yang hanya 11 persen daratannya yang bisa ditanami. Kesempitan daerah
(sumber daya alam dan lahan-lahan pertanian dan perkebunan) tidak membuat masyarakat dan pemerintah di
negara tersebut menjadikan alasan untuk tidak menjadi negera penghasil coklak
yang hebat. Selain itu, Swiss juga terkenal sebagai negara penghasil susu dengan kualitas terbaik.
Negara paling dekat dengan Indonesia, Malaysia. Mentalitasnya
sungguh luar biasa. Negara yang merdeka belakangan dari Indonesia ini sudah
melesat sebagai Negara hebat. Nilai ekspor Malaysia saat ini mencapai 1,5 kali
lebih besar dari Indonesia.
Di sektor perkebunan, Malaysia telah mengubah sebagian besar
lahan tidur yang tidak produktif menjadi area perkebunan kelapa sawit. Kawasan
di sekitar bandara internasional Kuala Lumpur saja dikelilingi oleh perkebunan
sawit. Malaysia juga mengembangkan sektor pariwisata. Keyakinan dan spirit “Malaysia Trully Asia” mengidentifikasikan
dirinya seolah-olah merupakan negeri yang mewakili Asia dalam sektor
pelancongan tersebut. Malaysia kini mampu meraup tidak kurang dari 150 juta
ringgit per tahun.
Meneropong negara lain semakin memberikan keyakinan bahawa
masalah inti dari bangsa ini adalah mentalitasnya yang buruk, yang berindikasi
pada maraknya perbuatan tidak bermoral yaitu korupsi dan hutang. Sudah bukan
rahasia lagi bahwa korupsi di Indonesia tumbuh subur hampir di semua tempat dan
berbagai lapisan dan berbagai tingkat eselon.
Menurut seorang pengamat bahwa secara horizontal, bila dahulu
korupsi hanya terjadi di satu ranah kekuasaan (eksekutif) saja, kini korupsi
juga ditemukan di lembaga legislatif dan yudikatif. Sedangkan secara vertikal,
era otonomi daerah telah menggeser praktek korupsi dari korupsi terpusat
(centralized corruption) menjadi korupsi terdesentralisasi (decentralized
corruption).
Membangun mentalitas anti korupsi merupakan strategi
preventif sekaligus kuratif terhadap kemungkinan lahir dan berkembangnya
mentalitas korupsi yang menjadi cikal bakal korupsi.
Perubahan mental perlu terus dilakukan dari waktu ke waktu.
Indonesia memiliki semua modal yang diperlukan untuk menjadi bangsa jaya
sebagaimana sekarang dicapai oleh bangsa-bangsa lain seperti Amerika, Inggris,
China, Singapura, Malaysia, dan lain-lain. Kunci untuk mewujudkan kejayaan
Indonesia adalah komitmen untuk menjadi bangsa pintar, baik dari aspek
kepemimpinan maupun mentalitas bangsanya.
Buku yang menghebohkan yang ditulis oleh Profesor Arysio
Santos dengan judul yang cukup provokatif, “Atlantis, The Lost Continent
Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization”. Temuan
dari seorang Geolog dan Fisikawan Nuklir Brazil dari hasil penelitianya selama
puluhan tahun menyatakan bahwa Indonesia ternyata merupakan tempat lahirnya peradaban
besar dunia, sebagaimana pernah disebut-sebut oleh Plato, yakni peradaban
Atlantis yang hilang.
Sekilas kita patut bangga bahwa ditahan inilah peradaban
ini pernah berdiri, tetapi itu dulu. Dan sekarang nyatanya kita menjadi bangsa
yang kalah, bangsa besar yang takluk tak berdaya dicundari oleh bangsa kecil,
Belanda.seperti kisah Gulliver, yang tertawan oleh kurcaci-kurcaci.
Seorang penyair Jerman yang bernama Friedrich von
Schiller, menyatakan “Sebuah abad besar
telah lahir. Tetapi, ia menemukan generasi yang kerdil.” Ia belum menemukan
generasi yang hebat untuk menyongsong abad yang besar ini tetapi justru
dihadapkan pada generasi-genarasi yang lemah, kerdil, beku dan sama sekali
tidak mencerminkan sebuah kemajuan besar untuk membawanya keluar dari lingkaran
kekerdilan.
Sejak Indonesia diproklamasikan sebagai sebuah bangsa yang
berdaulat dan merdeka serta dihadapkan dengan bangsa-bangsa modern lainnya,
semestinya bangsa ini pula harus dibangun berdasarkan pada pilihan yang
tegas—dimulai dengan Pilihannya adalah menjadi “manusia-manusia
besar”, bukan “manusia-manusia kerdil”—. Semua ini dibangun dengan dasar
membangun mindsetnya terlebih dahulu.
Mengapa hanya Jepang
tercatat sebagai bangsa Asia mampu menandingi pencapaian peradaban
Barat, salah satunya adalah kemampuan untuk berpikir. Dari pikiran itulah
terbangun kekuatan, landasan dan mentalitas yang kuat. Sehingga pelabelan terhadap bangsa Asia
umumnya dan khususnya Indonesia tidak lagi terjadi karena orang Asia telah
dapat berpikir dan mempu menemukan.
Sebuah proses abadi, yang harus kita upayakan
terus-menerus untuk kepentingan Nasionalis, yang indikasi jelasnya bahwa Negara
Indonesia menjadikan Pancasila landasan pijakan, sebagaimana dikatakan oleh Gus
Dur, Pancasila itu merupakan suatu konsensus nasional—suatu karya agung para
pendiri bangsa ini—sebagai sebuah bangsa
yang plural.
Tidak ada komentar:
Write komentar