Bukan tentang seberapa besar memberikan melainkan seberapa besar cinta yang dilibatkan dalam pemberian.(BUNDA THERESA) Kepintaran adalah sebuah kekayaan. Namun ia memerlukan kekuatan penyeimbang yang bernama kebijaksanaan.(GEDE PRAMA)

Rabu, 22 Maret 2017

Bagaimana Menyeimbangkan Teori dan Prakteknya?

 
Seimbang antara teori dan prakteknya
Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan omongan, karena ada hal-hal yang akan selesai bukan dengan omongan melainkan dengan tindakkan, contohnya membuang sampah pada tempatnya. 

Ini tentu bukan hanya sebatas selogan, apa lagi hanya himbauan, jelas harus ada aktiftas riilnya yaitu membuang sampah pada tempatnya. Beberapa teman saya sering bertanya bagaimana caranya menjadi penulis. Saya menjawab dengan sederhana, ya… tinggal menulis. Penulis adalah yang menulis, pembaca adalah yang membaca demikian juga pembicara atau pendongeng. 

Mereka yang melakoninya layak dipredikatkan untuk apa yang sedang dilakoninya. Sederhana.
Dari penyebutan istilahpun kita tahu bahwa apakah istilah itu menunjukan konotasi aktiftas fisik atau hanya sebatas omongan saja. Bagi para pengacara atau para negosiator ulung, tentunya ia tidak hanya berpacu pada gaya dan rektorika semata, pengumpulan data untuk mendukung fakta-fakta sangat dibutuhkan untuk kemenang.

Bagaimana Membenahi Masyarakat Sudah Lesu?

 
masyarakat lesu
Tidak ada seorang pun kecuali orang bodoh yang mencemaskan sesuatu yang tidak bisa mereka pengaruhi (Samuel Johnson[1])


Manusia yang kehilangan energinya ibarat sebuah perusahaan yang segala halnya sudah bobrok, mulai dari manageman, direksi dan juga para karyawanya semuanya bobrok. Ini sungguh menyusahkan, bergerak dan maju tak mampu karena terlalu banyak hambatan matipun tak bisa karena perusahaan ini menjadi andalan menghidupi warganya. 

Perusahaan seperti ini akan terus-menerus jalan ditempat, mirip dengan pepatah mati segan hidup tak mau.  Jika tidak melakukan maneuver strategis untuk membangkitkan prusahaanya agar tidak gulung tikar.

Manusia yang sudah kehilangan energi artinya sudah kehilangan semangat hidup, sudah tak bisa melihat arah jalan dan tak punya lagi kekuatan untuk melangkah, bahkan memikirkan dirinya pun sudah tidak bisa. Manusia model ini sangat memprihatinkan. 

Nilai kemuliaan yang seharusnya menjadi mahkota kebanggaanya kini hilang tiada berguna padahal seharusnya itu tidak terjadi. Hidupnya seperti benalu yang selalu menyusahkan dirinya dan orang lain. Upaya yang dilakukan untuk merubah orang semacam ini adalah tidak hanya dengan memberikan penyadaran tetapi juga harus dibarengi dengan mengubah kebiasaan-kebiasaan atau pola-pola dengan membuatkan kebiasaan dan pola yang baru.

Cara kerja dan pola pikir lamanya yang berada dalam keadaan stabil dan aman menjadi baru, bergairah dan selalu membuatnya terus bergerak. ini membutuhkan kerja keras dan fasilitas pendukung yang membuatnya bisa berbuat. 

Setelah dilatih dengan paragigma/ mindset baru keterampilan-keterampilan, diberi motivasi, dan diubah cara berpikirnya, selanjutnya adalah dengan tidak boleh membiarkanya begitu saja, karena setelah semua itu dilakukan kita harus tempatkan atau wadahi mereka berdasarkan pada kebutuhannya dan perkembanganya. tidak diabaikan begitu saja.

Ini memang berat dan sudah tentu menyusahkan. Banyak energi yang akan terkuras. Tenaga maupun materi. Untuk itu diperlukan keterlibatan banyak pihak dalam menanggulangi ini dan tentunya dituntut untuk kesadaran yang utuh dalam rangka membenahi kesemerautan, baik kesemerautan personal maupun masyarakat. 

Tidak ada perubahan besar tanpa pengorbanan yang besar pula. Adalah rotasi yang saling berkesinambungan. 

Terkait  dengan membenahi sebuah organisasi, kita pun memerlukan anggota (karyawan) yang hebat dan membangun budaya disiplin yang baik. Jika hanya dibenahi sistemnya saja tetapi SDMnya tetap yang lama itu tidak akan banyak pengaruhnya karena tetap saja pola yang lamalah yang bertahan.   

Anggota yang hebat itu meliputi kehebatan fisiknya, artinya kesehatan dan kesejahtraanya terpenuhi, memiliki keterampilan yang memadai yang dibutuhkan organisasi dan punya budaya disiplin yang baik.

Budaya disiplin tidak bisa dibangun dengan sahari, tetapi budaya disiplin itu harusnya sudah menjadi habit, dan organisasi punya peranan penting dalam menciptakan budaya tersebut dengan memberlakukan sistem dengan baik sesuai dengan ketentuan.

Semoga dengan kesadaran diri dan kontrol yang kuat kita senantiasa diberikan kekuatan untuk bisa bijak mengurai benang yang kusut ini. 




[1] Seorang pendeta dan pendidik di AS (1696-1772)

Selasa, 14 Maret 2017

Ulasan Buku Dr. David J Schwartz berjudul "Berpikir dan Menjadi Sukses"

 
Buku yang tak kalah luar biasanya dalam memberikan inspirasi dan semangat adalah buku yang ditulis oleh Dr. David J Schwartz, Berpikir dan Menjadi Sukses. Dalam pembahasan awal beliau menjelaskan hidup sukses dimulai denga impian—rasanya itu tidak asing lagi. Akan tetapi ini tidak mudah, karena kebanyakan orang masih selalu saja melihat dirinya pada kenyataanya sekarang.
 
Mereka susah sekali menciptakan gambaran masa depan yang ideal yang mereka inginkan. Dr. David J Schwartz menegaskan lebih lanjut, kemajuan dalam  setiap kegiatan dicapai hanya kalau potensialitasnya dibayangkan, bukan jika hal itu dikekang oleh realitas.

Cara Efektif Membangun Reputasi


Membangun reputasi yang powerfull
Reputasi menunjukan siapa Anda. Jika reputasi Anda baik itu sama dengan apa yang Anda lakukan adalah serentetan kebaikan. Begitu juga sebaliknya. Jangan salah jika dalam sebuah perusahaan, reputasi menentukan tingkat kompetensi seorang karyawan diperusaahn tersebut.
Napoleon Hill, dalam bukunya yang sangat terkenal, Think And Grow Rich. Menceritakan kisah seorang anak muda yang berhasil memperoleh karir besar sebuah organisasi yang ia mulai dari dasar.

Anak itu menunjukan reputasi yang baik dengan trik yang sederhana. Ia memperhatikan bosnya  datang sedikit lebih dari staf yang lain dan pulang lebih larut juga. Kemudian anak itu menetapkan bahwa ia akan datang lebih awal 15 menit dari bosnya dan pulang 15 menit setelah sang bos pulang. Setelah berminggu-minggu. Akhirnya pada suatu malam, sang bos menghampirinya dan bertanya mengapa dia masih duduk disana sementara yang lain sudah pergi.

Anak itu menjawab, bahwa ia benar-benar ingin meraih sukses di perusahan tersebut dan ia sadar betul, dia tidak akan meraih sukses jika dia tidak mau bekerja lebih keras dari pada yang lain. Sang bos tersenyum dan mengangguk. Lalu, tak lama setelah itu, sang bos memintanya untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya bukan tugasnya, namun anak itu mengerjakan dengan baik dan cepat lalu mengantarkan hasilnya kepada sang bos dan kembali melanjutkan pekarjaanya. Tak lama kemudian diberi tugas yang lain dan dikerjakan pun dengan baik dan cepat rampung.

Dibutuhkan Mental Berbangsa untuk Membangun Sebuah Bangsa


mental berbangsa
“Adalah persoalan mentalitas. Mentalitaslah sebagai kunci yang membedakan antara bangsa-bangsa yang mampu meraih kejayaannya dan bangsa-bangsa yang tetap bertahan dalam keterpurukan.”—Heppy Trenggono, Penulis Buku Menjadi Bangsa Pintar)
 

Kontras rasanya bila sebuah bangsa yang tidak diragukan lagi kekayaan alamnya (SDA) yang cukup sebagai modal menjadi begara maju dan makmur. Meskipun kemerdekaan sudah diraih oleh bangsa ini, tetapi penjajahan masih begitu kentara apabila kita saksikan realitas yang dialami rakyatnya, seolah-olah menjadi warisan turun-temurun hingga saat ini. 

Ini bisa dilihat dari kenyataannya—disadari atau tidak, seperti sudah menjadi keyakian sebagai bangsa yang terjajah sekian lamanya—sehingga berdampak dari mentalitas bangsa dan rakyatnya yang  sebagai bangsa rendahan.