Selasa, 14 Maret 2017

Dibutuhkan Mental Berbangsa untuk Membangun Sebuah Bangsa

 


mental berbangsa
“Adalah persoalan mentalitas. Mentalitaslah sebagai kunci yang membedakan antara bangsa-bangsa yang mampu meraih kejayaannya dan bangsa-bangsa yang tetap bertahan dalam keterpurukan.”—Heppy Trenggono, Penulis Buku Menjadi Bangsa Pintar)
 

Kontras rasanya bila sebuah bangsa yang tidak diragukan lagi kekayaan alamnya (SDA) yang cukup sebagai modal menjadi begara maju dan makmur. Meskipun kemerdekaan sudah diraih oleh bangsa ini, tetapi penjajahan masih begitu kentara apabila kita saksikan realitas yang dialami rakyatnya, seolah-olah menjadi warisan turun-temurun hingga saat ini. 

Ini bisa dilihat dari kenyataannya—disadari atau tidak, seperti sudah menjadi keyakian sebagai bangsa yang terjajah sekian lamanya—sehingga berdampak dari mentalitas bangsa dan rakyatnya yang  sebagai bangsa rendahan. 


Warisan negatif dari penjajah meliputi seolah sebagai sebuah hal yang lumrah, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kekayaan alam Indoneia melimpah ruah. Luas wilayahnya yang mencapai hampir 2 juta km dari Sabang sampai Merauke itu sebagian besar tanahnya subur dan cocok untuk semua tanaman pangan. Jelas tidak bisa dijadikan andalan untuk memunjukan sebagai sebuah bangsa hebat. Menurut Heppy Trenggono penulis Menjadi Bangsa Pintar, ini adalah persoalan mentalitas. 

Mentalitaslah sebagai kunci yang membedakan antara bangsa-bangsa yang mampu meraih kejayaannya dan bangsa-bangsa yang tetap bertahan dalam keterpurukan, dalam hal ini adalah Indonesia.

Sebagai sebuah bangsa yang besar hal yang menjadi modal yang akan menjadi citra sebagai sebuah bangsa yang hebat adalah dengan upaya membangun mentalitas bangsa Indonesia, dengan memupuk mentalitas pemenang, bangsa yang berbudi luhur, bangsa yang mampu bersaing, bangsa yang produktif.

Belajar dari Bangsa-Bangsa Bermental

Kehebatan sebuah bangsa sama sekali tidak ditentukan oleh seberapa berlimpah sumber daya alam yang dimiliki. Tidak juga ditentukan oleh seberapa luas wilayah yang dimiliki, tapi ditentukan oleh sebarapa kuatnya mentalitas bangsanya tersebut—apakah bangsa itu memiliki mentalitas pemenang atau pecundang, mentalitas kaya ataukah mentalitas miskin, memiliki mentalitas membangun atau mentalitas merusak, apakah memiliki mentalitas sebagai pekerja keras atau pemalas.

Mari kita sekilah melihat berberapa negara yang berhasil bangkit setelah negara tersebut luluh-lantah oleh bangsanya sendiri—yang terjadi karena perang saudara—atau serangan dari bangsa lain—terlibat dalam perang antar atau perang dunia. 

Seperti Jepang, ditahun 1945 Jepang mengalami kehancuran hancuran luar bisa, segala sendir kehidupan lumpuh, setelah dua kota besarnya Hiroshima dan Nagasaki dihujani bom atum oleh tentara sekutu yang dimotori oleh Amerika Serikat setelah sebalum Jepang menyerang pangkalan militer angkatan udara Amerika dilaut pasifik (Kepulauan Hawai). 

Banyak pihak meyakini bahwa peristiwa itu sebagai akhir kejayaan Jepang. Tetapi semua itu terbantahkan tatkala Jepang berhasil bangkit dengan watu yang relative cepat—sebagai upaya untuk membangun sebuah bangsa yang telah hancur, kemabali ketitik nol—. Dan kini Jepang bangkit dari keterpurukan dan berubah menjadi Negara kuat dengan kemajuan industri melebihi kekuatan militernya pada perang dunia kedua. 

Senasib dengan Jepang, Jerman kalah di Perang Dunia II, dan mengalami keterpurukan yang membuat akhirnya membuat Jerman terbagi menjadi dua bagian, Jerman Barat dan Jerman Timur, dalam Perjanjian Postdam

Belum lagi negara tersebut terlilit hutang yang cukup besar kepada negara-negara yang menang dalam perang tersebut. Tetapi, sekarang kita bisa lihat Jerman, sebagai sebuah negara Eropa yang berada digada terdepan, baik teknologi, ekonomi dan dalam bidang pengetahuan.  

Tidak kalah hebatnya dari sebuah negara kecil di Eropa yaitu Swiss—negeri yang satu ini dikenal sebagai negara penghasil coklat terbaik di dunia—yang hanya 11 persen daratannya yang bisa ditanami. Kesempitan daerah (sumber daya alam dan lahan-lahan pertanian dan perkebunan)  tidak membuat masyarakat dan pemerintah di negara tersebut menjadikan alasan untuk tidak menjadi negera penghasil coklak yang hebat. Selain itu, Swiss juga terkenal sebagai negara penghasil susu  dengan kualitas terbaik.

Negara paling dekat dengan Indonesia, Malaysia. Mentalitasnya sungguh luar biasa. Negara yang merdeka belakangan dari Indonesia ini sudah melesat sebagai Negara hebat. Nilai ekspor Malaysia saat ini mencapai 1,5 kali lebih besar dari Indonesia. 

Di sektor perkebunan, Malaysia telah mengubah sebagian besar lahan tidur yang tidak produktif menjadi area perkebunan kelapa sawit. Kawasan di sekitar bandara internasional Kuala Lumpur saja dikelilingi oleh perkebunan sawit. Malaysia juga mengembangkan sektor pariwisata. Keyakinan dan spirit “Malaysia Trully Asia” mengidentifikasikan dirinya seolah-olah merupakan negeri yang mewakili Asia dalam sektor pelancongan tersebut. Malaysia kini mampu meraup tidak kurang dari 150 juta ringgit per tahun.

Meneropong negara lain semakin memberikan keyakinan bahawa masalah inti dari bangsa ini adalah mentalitasnya yang buruk, yang berindikasi pada maraknya perbuatan tidak bermoral yaitu korupsi dan hutang. Sudah bukan rahasia lagi bahwa korupsi di Indonesia tumbuh subur hampir di semua tempat dan berbagai lapisan dan berbagai tingkat eselon. 

Menurut seorang pengamat bahwa secara horizontal, bila dahulu korupsi hanya terjadi di satu ranah kekuasaan (eksekutif) saja, kini korupsi juga ditemukan di lembaga legislatif dan yudikatif. Sedangkan secara vertikal, era otonomi daerah telah menggeser praktek korupsi dari korupsi terpusat (centralized corruption) menjadi korupsi terdesentralisasi (decentralized corruption). 

Membangun mentalitas anti korupsi merupakan strategi preventif sekaligus kuratif terhadap kemungkinan lahir dan berkembangnya mentalitas korupsi yang menjadi cikal bakal korupsi.
Perubahan mental perlu terus dilakukan dari waktu ke waktu. Indonesia memiliki semua modal yang diperlukan untuk menjadi bangsa jaya sebagaimana sekarang dicapai oleh bangsa-bangsa lain seperti Amerika, Inggris, China, Singapura, Malaysia, dan lain-lain. Kunci untuk mewujudkan kejayaan Indonesia adalah komitmen untuk menjadi bangsa pintar, baik dari aspek kepemimpinan maupun mentalitas bangsanya.

Buku yang menghebohkan yang ditulis oleh Profesor Arysio Santos dengan judul yang cukup provokatif, “Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization”. Temuan dari seorang Geolog dan Fisikawan Nuklir Brazil dari hasil penelitianya selama puluhan tahun menyatakan bahwa Indonesia ternyata merupakan tempat lahirnya peradaban besar dunia, sebagaimana pernah disebut-sebut oleh Plato, yakni peradaban Atlantis yang hilang. 

Sekilas kita patut bangga bahwa ditahan inilah peradaban ini pernah berdiri, tetapi itu dulu. Dan sekarang nyatanya kita menjadi bangsa yang kalah, bangsa besar yang takluk tak berdaya dicundari oleh bangsa kecil, Belanda.seperti kisah Gulliver, yang tertawan oleh kurcaci-kurcaci.
Seorang penyair Jerman yang bernama Friedrich von Schiller, menyatakan “Sebuah abad besar telah lahir. Tetapi, ia menemukan generasi yang kerdil.” Ia belum menemukan generasi yang hebat untuk menyongsong abad yang besar ini tetapi justru dihadapkan pada generasi-genarasi yang lemah, kerdil, beku dan sama sekali tidak mencerminkan sebuah kemajuan besar untuk membawanya keluar dari lingkaran kekerdilan.

Sejak Indonesia diproklamasikan sebagai sebuah bangsa yang berdaulat dan merdeka serta dihadapkan dengan bangsa-bangsa modern lainnya, semestinya bangsa ini pula harus dibangun berdasarkan pada pilihan yang tegas—dimulai  dengan  Pilihannya adalah menjadi “manusia-manusia besar”, bukan “manusia-manusia kerdil”—. Semua ini dibangun dengan dasar membangun mindsetnya terlebih dahulu.

Mengapa hanya Jepang  tercatat sebagai bangsa Asia mampu menandingi pencapaian peradaban Barat, salah satunya adalah kemampuan untuk berpikir. Dari pikiran itulah terbangun kekuatan, landasan dan mentalitas yang kuat.  Sehingga pelabelan terhadap bangsa Asia umumnya dan khususnya Indonesia tidak lagi terjadi karena orang Asia telah dapat berpikir dan mempu menemukan.

Sebuah proses abadi, yang harus kita upayakan terus-menerus untuk kepentingan Nasionalis, yang indikasi jelasnya bahwa Negara Indonesia menjadikan Pancasila landasan pijakan, sebagaimana dikatakan oleh Gus Dur, Pancasila itu merupakan suatu konsensus nasional—suatu karya agung para pendiri bangsa ini—sebagai  sebuah bangsa yang plural.

Tidak ada komentar:
Write komentar